Bali Indonesia, is one of my favorite places in the world — I can't get enough of the lush landscape, unique culture and friendly people. Check-in formalities took about 10 minutes, which included a review of some of the activities we had planned, a confirmation that we had requested a scooter, which would be at the hotel first thing
Bersama dengan Seven Sunday Films, Hanung Bramantyo mempersembahkan proyek besarnya yaitu film "The Gift" yang akan tayang pada 24 Mei 2018. Menjadi karya paling jujur Hanung, film ini diperankan oleh para artis papan atas Indonesia seperti Reza Rahadian, Ayushita, Dion Wiyoko dan Christine ini menceritakan tentang sosok Harun seorang tuna netra yang menutup diri dari dunia luar. Karakter Harun yang diperankan oleh Reza Rahadian menjadi pengalaman pertamanya berakting sebagai seorang tuna netra. IDN Times mendapat kesempatan menyaksikan film "The Gift" dan merangkum 7 hal yang wajib kamu tahu seblum nonton film Penuh teka-teki alur cerita yang tidak dijelaskan secara Seakan ingin mengajak penonton dengan seninya dalam film, Hanung Bramantyo banyak memberikan tanda tanya yang menggelitik penonton dengan keluar ruangan bioskop dengan kebingungan. Ingin membuat para penonton mempunyai makna sendiri dengan tebakan masing-masing. Akan banyak teka-teki dalam cerita film "The Gift" terutama dalam karakter Tiana yang diperankan oleh Ayushita Nugraha. Mulai dari prolog yang menampilkan dirinya terdampar di pinggir pantai, hingga tenggelam dalam lautan yang tersambung dengan pintu kamarnya. Makin penasaran kan?2. Terdapat beberapa dialog yang Lagi-lagi sukses membuat penonton bertanya-tanya dan menebak sendiri alur cerita. Hanung membiarkan para penonton mengeksplorasi cerita dengan beberapa dialog yang kesannya menggantung di beberapa scene. Namun pengemasan film ini cukup bagus untuk membuat penonton tidak bosan mengingat cerita dalam film ini lebih terkesan gelap dan Masa lalu gelap Tiana dan 'dunianya' yang sulit Untuk kalian yang menyukai film ringan tanpa mengeluarkan energi untuk berpikir keras mengenai cerita dalam film, maka film ini bisa menjadi tantangan untuk kamu menikmati cerita dengan hints yang yang cukup membingungkan dan butuh energi lebih untuk film Indonesia pada umumnya membuat cerita flashback secara rinci dan lengkap menjelaskan masa lalu pemeran dengan jelas, di film "The Gift" ini akan menyajikan flashback yang singkat dan lagi-lagi menggantung. Karakter Tiana dengan dunia yang ia buat sendiri membuat film ini hanya berisi cerita romance juga 7 Kejanggalan Film 212 The Power of Love, Ada yang Sadar?4. Sinematografi yang sudah tidak perlu diragukan lagi dari Seven Sunday Films, tapi...IDN Times/Ramadani Barus Meski ini merupakan film perdana bagi PH Seven Sunday Films, sebelumnya mereka pernah menggarap beberapa iklan untuk brand-brand ternama dengan kualitas visual yang epic. Namun di awal film ini mulai entah disengaja atau tidak pengambilan gambar cukup membuat tidak nyaman dengan banyak goyangan seperti video ciri khas visual dari PH yang biasa menggarap iklan dengan bagus akan sangat terasa di film ini. Warna, transisi, pengambilan gambar dari jauh dan dekat yang tepat membuat cerita film ini semakin Pertemuan dua insan dengan masa lalu yang gelapIDN Times/Ramadani Barus Secara benang merah kisah cinta Harun dan Tiana cukup banyak dalam film romantis ini. Namun yang membuat film "The Gift" berbeda, ada karakter pemeran utama yang kuat dengan latar belakang, masa lalu, hingga kehidupan yang masing-masing mereka alami. Dua insan dengan hidup yang cukup rumit dan juga belum bisa memaafkan diri sendiri bertemu dan membuka ruang gelap yang selama ini mereka Tidak diambil dari cerita novel atau urban legendIDN Times/Ramadani Barus Hanung Bramantyo sebagai sutradara mengaku bahwa ini merupakan karya terjujur darinya. "Cerita film "The Gift" ini tidak dari novel ataupun cerita urband legend, ini original story. Film ini yang terbaik dalam karir saya," ungkap juga mengaku dalam film ini merasa mengeluarkan segalanya. "Di film sebelumnya saya gak ngerti apa yang saya bikin, apa yang saya masak, film biopik bukan adaptasi bukan. Di film ini saya merasa lebih all out," ungkap suami Zaskia Adya Mecca Mengajak teman-teman tuna netra ikut menikmati karya sineas IndonesiaIDN Times/Ramadani Barus "Bioskop bisik ada karena kita percaya masih ada orang baik di Indonesia," kalimat menyentuh yang diungkapkan pihak acara sebelum screening film dimulai. Menceritakan tentang kehidupan Harun yang seorang tuna netra, Seven Sunday Films mengajak teman-teman tuna netra dan relawan dari "Bioskop Bisik" menikmati film "The Gift" ini kita dukung industri perfilman Indonesia dengan menonton film berkualitas mereka di bioskop!Baca juga Hanung Bramantyo Gandeng Reza Rahadian & Iwan Fals di Film "The Gift"
ACCORDINGto the recent Google Temasek research, in 2017 e-commerce sales of first-hand goods will reach US$10.9 billion in gross merchandise value, up from US$5.5 billion in 2015, growing 41% CAGR. Google also mentioned that consumer interest in e-commerce has grown quickly across Southeast Asia, with Google Search interest for e-commerce
Gabung KomunitasYuk gabung komunitas {{forum_name}} dulu supaya bisa kasih cendol, komentar dan hal seru lainnya. Satu lagi film nasional Indonesia terbaru karya Hanung Bramantyo "THE GIFT", Film ini mengisahkan tentang Tiana Ayushita Nugraha, seorang novelis yang jatuh cinta pada Harun Reza Rahardian, lelaki dengan penglihatan yang tak sempurna tepat di hari ulang tahunnya yang ketiga puluh. Namun Tiana tidak tahu bahwa seorang teman masa kecilnya, Arie Dion Wiyoko, yang kini bekerja sebagai dokter bedah, akan melamarnya di hari yang sama. Apa yang terjadi setelahnya adalah tiga manusia berupaya memaknai ulang arti cinta dan kelumpuhan manusia. The Gift berhasil masuk sebagai salah satu film yang mendapat undangan khusus untuk tampil di Jogja-NETPAC Asian Film Festival JAFF yang ke 12 dan akan tayang di bioskop akhir maret 2018 ini. Source sinopsis bisa dilihat di website resminya 20-02-2018 1019 Diubah oleh bhumiqu 20-02-2018 1024 Judulnya sama kayaknya filmnya si Jason Bateman 22-02-2018 0932 KASKUS Maniac Posts 5,206 Reja lagi Reja lagi hahahahaa boseen boseeen 06-03-2018 1038 Reza Rahadian again... 21-04-2018 1611 Kaskus Addict Posts 3,334 Maaf, adakah aktor selain reza rahadian??? 21-04-2018 2028 Kaskus Addict Posts 2,046 reza ohh reza.... wkwkwk bosennn 21-04-2018 2154 Kaskus Addict Posts 2,049 film hanung sih biasanya ada keunikan nya gan 14-05-2018 1816 cinta segitiga ya? sprtny menarik. lbh menarik kl mas reza diganti aktor lain. 17-05-2018 0839 Kaskus Addict Posts 2,645 Sutradara nya si mas Hanung. dan... Aktor nya Reza again !!! sudahkuduga gagalpaham tepar 21-05-2018 1048 belm ada yg review nh 24-05-2018 2130 KASKUS Addict Posts 2,232 QuoteOriginal Posted By kuminitsu►belm ada yg review nh Oke ane kasih review gan Film ini kabarnya dibuat sesuai dengan keinginan Hanung Tanpa ada tekanan atau masukan dari produser Katanya Memang terasa agak beda dengan karya Hanung sebelum2nya yang menampilkan adegan dramatis menguras emosi atau air mata penonton disertai iringan musik melankolis plus bombastis Untuk film The Gift ini musik nya lebih kalem dan tenang Alurnya pun santai dan perlahan Mengingatkan sama film2 art yang segmented Tapi film The Gift lebih enak dan mudah diikuti pastinya Waktu liat trailernya ane sempet mikir kenapa pemeran utama wanita nya harus Ayu Shita? Kenapa ga artis lain yang lebih cantik dan komersil Ternyata sutradara memang ga salah pilih Akting Ayu Shita bagus dan bisa mengimbangi Reza Rahadian yang ga perlu diragukan lagi Seandainya film ini dibintangi oleh aktor dan aktris berakting kacrut entah apa jadinya 7,5/10 Salah satu film drama terbaik 2017-2018 versi ane Ga perlu bawa tissue buat yang gampang mewek Karena emang ga bikin sedih berlebihan Film ini ga seperti drama karya Hanung lain layaknya Ayat Ayat Cinta, Rudi Habibi, atau Surga tak dirindukan 2 26-05-2018 1158 QuoteOriginal Posted By AwanRain►Oke ane kasih review gan Film ini kabarnya dibuat sesuai dengan keinginan Hanung Tanpa ada tekanan atau masukan dari produser Katanya Memang terasa agak beda dengan karya Hanung sebelum2nya yang menampilkan adegan dramatis menguras emosi atau air mata penonton disertai iringan musik melankolis plus bombastis Untuk film The Gift ini musik nya lebih kalem dan tenang Alurnya pun santai dan perlahan Mengingatkan sama film2 art yang segmented Tapi film The Gift lebih enak dan mudah diikuti pastinya Waktu liat trailernya ane sempet mikir kenapa pemeran utama wanita nya harus Ayu Shita? Kenapa ga artis lain yang lebih cantik dan komersil Ternyata sutradara memang ga salah pilih Akting Ayu Shita bagus dan bisa mengimbangi Reza Rahadian yang ga perlu diragukan lagi Seandainya film ini dibintangi oleh aktor dan aktris berakting kacrut entah apa jadinya 7,5/10 Salah satu film drama terbaik 2017-2018 versi ane Ga perlu bawa tissue buat yang gampang mewek Karena emang ga bikin sedih berlebihan Film ini ga seperti drama karya Hanung lain layaknya Ayat Ayat Cinta, Rudi Habibi, atau Surga tak dirindukan 2 mantab reviewny gan,cek kulkas ane kash ce ndol, nti malam mw nntn skeluarga nh,coz ane ga suka starwars jd nntn lokal aja 26-05-2018 1200 KASKUS Addict Posts 2,232 QuoteOriginal Posted By kuminitsu► mantab reviewny gan,cek kulkas ane kash ce ndol, nti malam mw nntn skeluarga nh,coz ane ga suka starwars jd nntn lokal aja Oke gan terima kasih Selamat nonton Sebelum turun layar Karena film ini kalah dari film horor Alas Pati yang edar bersamaan Jangan lupa kasih review nya Oh iya Setelah film berakhir Agan akan tau kenapa film ini dikasih judul The Gift 26-05-2018 1237 Aktivis Kaskus Posts 668 QuoteOriginal Posted By AwanRain►Oke ane kasih review gan Film ini kabarnya dibuat sesuai dengan keinginan Hanung Tanpa ada tekanan atau masukan dari produser Katanya Memang terasa agak beda dengan karya Hanung sebelum2nya yang menampilkan adegan dramatis menguras emosi atau air mata penonton disertai iringan musik melankolis plus bombastis Untuk film The Gift ini musik nya lebih kalem dan tenang Alurnya pun santai dan perlahan Mengingatkan sama film2 art yang segmented Tapi film The Gift lebih enak dan mudah diikuti pastinya Waktu liat trailernya ane sempet mikir kenapa pemeran utama wanita nya harus Ayu Shita? Kenapa ga artis lain yang lebih cantik dan komersil Ternyata sutradara memang ga salah pilih Akting Ayu Shita bagus dan bisa mengimbangi Reza Rahadian yang ga perlu diragukan lagi Seandainya film ini dibintangi oleh aktor dan aktris berakting kacrut entah apa jadinya 7,5/10 Salah satu film drama terbaik 2017-2018 versi ane Ga perlu bawa tissue buat yang gampang mewek Karena emang ga bikin sedih berlebihan Film ini ga seperti drama karya Hanung lain layaknya Ayat Ayat Cinta, Rudi Habibi, atau Surga tak dirindukan 2 kalo dibandingkan dengan film love for sale, lebih bagus mana gan? 26-05-2018 2109 KASKUS Addict Posts 2,232 QuoteOriginal Posted By 102► kalo dibandingkan dengan film love for sale, lebih bagus mana gan? Love For Sale ane belom nonton gan Jadi ga bisa bandingin 27-05-2018 0836 Setuju gan, filmnya memang begitu ada adegan donor mata. ane langsung gk sregg sama ceritanya soalnya ane tau sedikit soal donor mata. gak bisa kita donor mata kalo pendonor belum Posted By AwanRain► Oke ane kasih review gan 27-05-2018 1522 KASKUS Addict Posts 2,232 QuoteOriginal Posted By darvent►Setuju gan, filmnya memang begitu ada adegan donor mata. ane langsung gk sregg sama ceritanya soalnya ane tau sedikit soal donor mata. gak bisa kita donor mata kalo pendonor belum mati. Iya Ane juga agak kurang sreg sama bagian itu. Walau udah dijelaskan oleh dokter bahwa itu perbuatan ilegal. 27-05-2018 1609 Hmm, moga sukses dh penjualannya. Ane skip dulu, kurang suka genre drama indo. 29-05-2018 1257 CEK JADWAL NIH FILM PAKE ANDROID Film Bioskop 05-06-2018 1442
Fibiger Mattias. "Conspiracy as Foreign Policy: A Review of Greg Poulgrain's The Incubus of Intervention: Conflicting Indonesia Strategies of John F. Kennedy and Allen Dulles." Inside Indonesia 123 (January-March 2016).
- Film The Gift merupakan sebuah film yang disutradarai oleh Joel Edgerton. Film ini diperankan di antaranya oleh Jason Bateman, Joel Edgerton dan Rebecca Hall. The Gift menceritakan tentang sepasang suami istri bernama Simon dan Robyn yang pindah dari Chicago ke pinggiran LA. Suatu hari Gordon, mantan teman sekelas Simon mulai memberikan hadiah tanpa memberi tahu termasuk ikan koi untuk kolam di rumah mereka. Gordon membuat Simon tak nyaman namun Robyn tidak mempermasalahkan hal itu. Gordon lalu mengundang mereka berdua ke rumahnya yang besar dan megah. Simon malah memperingatkan Gordon untuk menjauhi keluarganya. Saat ingin menemui Gordon, Simon tidak menemukan Gordon dirumahnya. Robyn pun mencurigai bahwa ia tidak sendirian saat Simon pergi bekerja. Genre Drama, Mystery, Thriller Duration 1h 48minRating Menarik Lainnya The Lobster 2015 - 45 Hari Mencari Pasangan Brooklyn 2015 - Sebuah Pilihan di Mana Rumah yang Dirindukan Spotlight 2015 - Mengungkap Skandal Besar Pelecehan Anak
1of 20. MEDAN, Indonesia - Indonesia's president promised a review of the country's ageing air force fleet and a defence modernisation drive on Wednesday, as the death toll from the crash of a
JAKARTA, - The Gift merupakan film drama romantis garapan sutradara Hanung Bramantyo. Film yang dikerjakan Hanung bersama Seven Sunday Films ini menampilkan Reza Rahardian dan Ayushita sebagai pemeran utamanya. Hadir pula Dion Wiyoko dan aktris senior Christine Hakim dalam film berdurasi 118 menit juga Sinopsis Fix You, Drama Medis Bertema Kesehatan Mental, Tayang di VIU Mengambil latar Kota Yogyakarta, The Gift menampilkan keindahan alam di kawasan Kaliurang. Film ini bercerita tentang perjalanan seorang novelis muda bernama Tiana Ayushita yang rela pindah ke Yogyakarta demi menghasilkan karya terbarunya. Di sana, ia menyewa sebuah paviliun milik keluarga Harun Reza Rahardian. Baca juga Sinopsis Film 3 Srikandi, 3 Atlet Panahan Indonesia Raih Medali di Ajang Olimpiade Tak ada yang menyangka, keputusan tersebut membawa cerita baru bagi Harun dan Tiana. Awal pertemuan mereka tak berkesan baik. Pada awalnya, Tiana terganggu dengan suara musik Harun yang begitu kencang. Baca juga Sinopsis Film Why Him? Usaha James Franco Dapat Restu untuk MenikahNamun, tanpa ia sadari, ternyata Harun adalah seorang tunanetra yang menutup diri dari lingkungannya. Seiring berjalannya waktu, Tiana pun luluh pada Harun. Sebaliknya, kepribadian Harun yang terbilang introvert menjadi penuh warna sejak kehadiran Tiana. Baca juga Sinopsis The Dude in Me, Kisah Bos Gangster Bertukar Jiwa dengan Anak SMA, Tayang di Viu Keduanya yang saling berkeluh kesah tidak menyadari bahwa cinta perlahan tumbuh di hati mereka. Akan tetapi, perjalanan cinta keduanya tak semulus yang dibayangkan. Sifat Tiana yang terlalu mandiri ternyata menjadi penghalang kedekatan mereka. Baca juga Sinopsis Absolute Zero 4, Teror Mencekam di Tokyo, Tayang di Viu Terlebih lagi, ada sahabat masa kecilnya, Ari Dion Wiyoko, yang hadir secara tiba-tiba dan menyatakan cintanya pada Tiana. Lantas, pada siapakah Tiana melabuhkan hatinya? Jawabannya ada dalam film The Gift yang dapat Anda saksikan di platform streaming Viu. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
TopIndonesia Gift & Specialty Shops: See reviews and photos of Gift & Specialty Shops in Indonesia, Asia on Tripadvisor.
The Gift Season 1PERHATIAN!Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini. Bagaimana jika ternyata hidup yang dijalani saat ini berjalan di atas sebuah misteri masa lalu? Bagaimana jika misteri itu perlahan mulai menampakkan wujudnya melalui cara-cara tidak biasa, cara-cara yang sulit dinalar oleh logika? Apakah Anda akan mengikutinya atau membiarkannya? Kebingungan seperti itu yang ditawarkan serial Turki original Netflix The Gift Season 1. Anda akan diajak mengikuti perjalanan seorang Atiye yang menegangkan dan penuh teka-teki. Tayang sebanyak 8 episode, serial ini tidak terlalu banyak memakan waktu. Tertarik untuk mulai menontonnya? Lebih baik intip sedikit cerita serial tersebut melalui sinopsis dan ulasan berikut ini. Simak yuk! Sinopsis Atiye Beren Saat adalah seorang pelukis muda dan terkenal asal Istanbul. Wanita tersebut menghasilkan banyak uang melalui menjual lukisan-lukisannya yang sebagian besar menampilkan simbol-simbol aneh. Atiye menjualnya di pameran-pameran seni bersama rekannya bernama Ozan Metin Akdülger. Suatu hari Erhan Mehmet Günsür yang merupakan seorang arkeolog membuat hidup Atiye berubah di luar kendali. Semua bermula ketika Erhan menemukan sebuah simbol yang terletak jauh di dalam jantung jaringan gua kuno. Simbol tersebut cocok dengan salah satu lukisan Atiye bahkan sama persis. Sebelumnya, ketika Atiye dan Ozan sedang mempersiapkan pameran, Cansu melihat ke arah cermin dan di sana dia mendapati seorang wanita asing berada di seberang jalan sedang menatapnya. Kembali ke simbol yang ditemukan Erhan, Atiye mengetahui informasi tersebut melalui berita terbaru di rumahnya. Atiye lantas segara mencari tahu yang sebenarnya terjadi. Wanita itu langsung menuju ke area gua di Gobekli Tepe. Namun, dia berhenti di tengah jalan untuk dan membawa seorang gadis dengan simbol di dahinya. Sementara itu, Erhan yang masih berada di lokasi berjalan ke arah yang lebih dalam. Di sisi lain, rekannya bernama Celal tiba-tiba berhenti sebab mendengar seseorang menyanyikan sebuah lagu. Selanjutnya kedua orang tersebut menemukan sebuah bagian yang seolah ditutup menggunakan lilin lebah. Mereka tidak membukanya. Atiye yang sudah sampai di lokasi segera menemui Erhan dan menyampaikan mengenai simbol yang dia lukis. Atiye melanjutkan bahwa dia merasa terhubung dengan “mereka” tapi Erhan tidak begitu menganggapnya serius dan memilih pergi. Cerita The Gift Season 1 berlanjut ketika gadis dengan simbol di dahi mengetuk pintu dan meminta bantuan Atiye untuk pergi ke lokasi penggalian. Ketika itu waktu sudah menunjukkan tengah malam. Atiye mengikutinya sampai Erhan mengetahui hal tersebut dan segera menariknya ke luar. Atiye menceritakan gadis yang dia lihat punya simbol bintang di dahinya, tapi orang-orang di sekitar tidak melihatnya, keesokan harinya, Ozan melamar Atiye dan diterima. Namun, sebuah ketukan dari arah pintu mengejutkan mereka. Rupanya itu adalah Erhan yang sekaligus mengabarkan bahwa mereka sudah menemukan gadis aneh yang dimaksud Atiye. Gadis aneh tersebut terlihat sedang menggaruk simbol Atiye kembali untuk mempersiapkan pernikahannya. Sementara itu, Erhan berubah menjadi selebritas baru karena penemuannya tersebut. Atiye kembali menemui Erhan. Keduanya kemudian memilih untuk menemui dan berbicara dengan profesor mengenak simbol tersebut. Menurutnya, salah satu maknanya adalah “Siapa kamu?”. Sayangnya, disuksi dengan sang profesor harus disudahi sebab Atiye harus melakukan fitting terhadap gaun voucher streaming Netflix, Disney+, Prime Video, Viu, dll murah di Lazada Pada malam harinya ketika Atiye dan Cansu pergi makan malam, Atiye mulai mendengar suara yang menakutkan. Suara tersebut mengalihkan perhatiannya dan tiba-tiba mengirimnya ke sebuah ruangan yang di dekatnya terdapat peti mati. Dari dalam, sesosok mayat merangkak ke luar untuk membebaskan diri. Lalu apa yang sebenarnya terjadi pada Atiye? Bagaimana simbol tersebut bisa sama persis? Apa rahasia di baliknya? Serial tentang Kekuatan Supernatural
5000 credits. This product is provided by a third-party seller, DekywonG, who has warranted that they have all appropriate rights to any content involved. IMVU takes copyright infringment seriously. To learn more about our policy, including takedown procedures, please click here. For more on the IMVU Creator program, which lets you create
Exhibition Review “The Gift” The Gift, a curio of an exhibition that stems from an ongoing transnational collaborative project by the Goethe-Institut, offers a slow burn into the idea of convergences over artistic expression and transnational exchanges. Museum MACAN, Jakarta, Indonesia23 January – 23 May 2021Co-curated by Aesep Topan Museum MACAN and Jakarta-based Korean curator Jeong Ok Jeon By Elaine Thanya Marie Teo In the basement of National Gallery Singapore lies a curio of an exhibition presented by Singapore Art Museum SAM. The Gift, the result of an ongoing transnational collaborative project — Collecting Entanglements and Embodied Histories, is a subtle study in the confluences of relations and how they manifest across geographical borders. The project involves institutions from Singapore SAM, Indonesia Galeri Nasional Indonesia, Thailand MAIIAM Contemporary Art Museum, and Germany Nationalgalerie – Staatliche Museen zu Berlin. This grouping was brought together by the Goethe-Institut in 2017, to create a dialogue between the collections of the four institutions around their common interest in contemporary Southeast Asian art. The Gift is one of four exhibitions planned for the culmination of this collaborative endeavour. Quite unlike the status quo of a single travelling exhibition, Collecting Entanglements and Embodied Histories frees the curatorial team compromised of SAM’s June Yap, Galeri Nasional Indonesia’s Grace Samboh, MAIIAM’s Gridthiya Gaweewong, and Nationalgalerie’s Anna-Catharina Gebbers to embark on four interrelated exhibitions. According to Yap, the genesis of the collaboration started in 2017, and the curators found their discussions shaping up to a focus on exhibitions. On the slate of exhibitions, The Gift debuts right after MAIIAM opened ERRATA in Chang Mai, with Nation, Narration, Narcosis by Nationalgalerie due to open in November 2021 in Berlin, and The Acquiescent Allies by Galerie Nasional Indonesia rounding off the project in early 2022 in Jakarta. The weight The Gift carries in terms of expositional elements is significant and runs the danger of being overly didactic. However, what is borne out in SAM’s temporary exhibition space at National Gallery Singapore, is a quiet focus on the delicate strands of interweaving histories, and networks of intersecting modest in its curatorial framework but ultimately carrying a sharp riposte to conventional ideas of artistic exchange, The Gift takes its departure point from Korean American artist Nam June Paik’s recollection of his first meeting with Joseph Beuys in 1961. These two towering figures in the art world would go on to develop a close friendship and engage in a series of projects together right up to Beuys’ death in 1986. The Gift uses this artistic exchange as a lens to consider meaning-making behind institutional collections. The exhibition steadfastly and somewhat admirably refuses direct threads of attributing the encounter of Southeast Asian artists with Euro-American ones as the catalyst for artistic movements. This strategy of demurring from easy generalizations, is exemplified by the use of Joseph Beuys’ Energiestab Energy Staff to lead visitors into the main exhibition space. Shamanism was a shared interest between Beuys and Nam June Paik. The Energiestab 1974 epitomizes Beuys’ preconceptions of shamanistic practice with its roots stemming from the oft-repeated tale of his rescue from a plane crash while serving in the Luftwaffe regiment in 1944. The myth goes as follows somewhere around Crimea, a group of Tartars pulled Beuys out of a plane crash he was in. They nursed him to health by rubbing fat on his body and wrapping him up in felt. Energiestab itself is composed of copper and felt, two materials Beuys would refer to as crucial in the idea of healing and spirituality. In truth, the highly exaggerated tale exposed Beuys to the critique of being a mere confectioner by art historian Benjamin Buchloh, in a scathing rebuke published in Art Forum’s 1980 January issue. Joseph Beuys b. 1921, Germany; d. 1986, Germany Energiestab Energy Staff, 1974, Copper and felt 415 x cm, Collection of Staatliche Museen zu Berlin, Nationalgalerie, Marx Collection. Image Courtesy of Singapore Art Museum. Along with her institutional counterparts, June Yap’s curatorial eye lays bare Beuys’ Energiestab Energy Staff for audiences to consider Beuys’ influence across geographies. Positioned in a nook and directly across from Koh Nguang How’s documentation of two travelling exhibitions of Joseph Beuys and Käthe Kollwitz held in Singapore in 1991, Energiestab can be read in a multitude of ways. The absence of any explicit link to Joseph Beuys’ artistic practice with his regional counterparts in terms of art production within the exhibition is a particularly strong undercurrent. Instead, what we are presented with is something a lot more nuanced and restrained. Koh, as part of the National Museum Art Gallery NMAG, the predecessor to SAM and National Gallery Singapore, documented this exhibition of Beuys’ and Kollwitz’s artworks, and the audience who consumed this aesthetic display. Nestled in one of the photographs alongside the 1991 exhibition invite, is a photo depicting German curator Gunter Minas leading a tour surrounded by local Singaporean artists. In the photograph, the curator has his eyes trained on a vitrine featuring Beuys’ Samurai Sword 1982, Rhein Water Polluted 1981, and Element 1982. Of all the artists appearing in the documentation listening closely to Minas, Tang Da Wu, a seminal figure in contemporary arts in Asia and beyond, is unmistakably present. Koh Nguang How, Photos of exhibition Joseph Beuys Drawings, Objects and Prints by Koh Nguang How. Invitation card for Joseph Beuys Drawings, Objects and Prints and Käthe Kollwitz Engravings and Sculptures from the Koh Nguang How Archive. Image Courtesy of Singapore Art Museum. “The entanglements are there”- June Yap Beuys’ influence in art history is such a dense minefield that the decision to gently sidestep this influence and instead present it as a touch point for local and regional art communities is deft play by the curatorial team. June Yap further points out that these images from the 1991 exhibition serve as a strategy towards “triggering [these] memories” from the local communities to examine a particular period in the nascent contemporary arts scene in Singapore and Southeast Asia. The mirroring quality in the display of Koh’s and Beuys’ works serves as a rich entry point into the exhibition proper, with its dispersed idea of artistic influence and inheritance. In the main exhibition space, visitors are greeted with Tang Da Wu’s Monument for Seub Nakhasathien 1991. Drawing ever so slightly from Tang’s presence in Koh’s photographs, we encounter a work almost captivating in its simplicity and unpretentious scale. Tang Da Wu b. 1943, Singapore, Monument for Seub Nakhasathien, 1991, wood and plaster, dimensions variable. Collection of Singapore Art Museum. Image Courtesy of Singapore Art Museum. Displayed without a plinth a mode of presentation explicitly rejected by Tang in SAM’s communication with the artist, the sculpture, made of wood and plaster sits soberly on the exhibition’s floor. Rather than crafting a straight line between Tang and Beuys a curatorial entry point made possible given Tang’s performance art background, Monument for Seub Nakhasathien expands the idea of exchange inwards within Southeast Asia. Nakhasathien, a Thai ecological conservationist, succumbed to death by suicide in 1990 after a lifetime of campaigning passionately for environmental sanctuaries in Thailand. Tang’s own oeuvre has centred on themes of the ecological and the social world. His seminal works, Tiger’s Whip 1991, and They Poach the Rhino, Chop Off His Horn and Make This Drink 1989, examine the poaching of wildlife with a raw intensity. Monument for Seub Nakhasathien differs largely from this approach. The general idea of a monument, as one typically outsized, contrasts with the quiet presence of this tribute. The work hints at how shared ideas travel across Southeast Asia and speak to one another. Perhaps the clearest line linking aesthetic practices occurs in the decision to place Ahmad Sadali’s Gunungan Emas The Golden Mountain, 1980 side by side with Salleh Japar’s Gunungan II, 1989-1990. The symbolism of mountains in the Nusantara region carries heavy spiritual weight, taking Beuys’ apparitional ideal of Eurasian mysticism further into a more grounded authentic realm. The gold leaf overlay in Sadali’s Gunungan Emas explores how the elemental idea of the spiritual endures in time immemorial, working similarly with Beuy’s Energiestab, 1974 and its copper construction. Though no definite connecting line or relationship exists between these artists, the curation highlights recurring motifs as well as shared interests. Ahmad Sadali b. 1924, Indonesia; d. 1987,Indonesia Gunungan Emas The Golden Mountain, 1980. Oil, wood and canvas, 80 x 80 cm. Collection of Galeri Nasional Indonesia Gunungan Emas The Golden Mountain, installation view. In the foreground, Salleh Japar b. 1962, Singapore, Gunungan II, 1989-1990. Painting, mixed media, 107 x 102 cm. Collection of Singapore Art Museum. Image Courtesy of Singapore Art Museum. Moving to Japar’s Gunungan II, we see an artist building upon this symbolic imagery of mountains and expanding the compositional field to countries as diverse as Indonesia, Australia, Thailand, and Myanmar. Japar’s inclusion in The Gift and the intimate space that the exhibition devotes to his 1993 artwork, Born Out of Fire undoubtedly calls to mind the ground-breaking 1988 Trimurti exhibition held in Goethe-Institut Singapore. The exhibition involved Salleh Japar, Goh Ee Choo and S. Chandrasekaran as young upstarts who bypassed their graduation show at the Nanyang Academy of Fine Arts NAFA, and instead mounted an interdisciplinary exhibition in the Goethe-Institut. Once again, the long-intertwined history of institutional engagement becomes hard to avoid. Salleh Japar b. 1962, Singapore, Gunungan II, 1989-1990. Painting, mixed media, 107 x 102 cm. Collection of Singapore Art Museum. Image Courtesy of Singapore Art Museum. Installation view. Salleh Japar b. 1962, Singapore, Born out of Fire, 1993. Acrylic on canvas, plexiglass, lightbulb, wood and hunt paper, dimensions variable. Collection of Singapore Art Museum. Image Courtesy of Singapore Art Museum. The exhibition’s closest approximation to the concrete idea of global exchanges occurs in Donna Ong’s The Caretaker 2008, which weaves a fictional setting around the Friendship Doll Project, a cultural gift exchange programme initiated by American missionary, Reverend Sidney Gulick in 1927. Amidst rising tensions as a result of the 1924 Immigration Act passed by the United States Congress that severely limited East Asian migration, Gulick organized for a set of blue-eyed dolls to be sent to Japan as a gesture of goodwill. Japan responded in kind with its own set of kimono-clad dolls sent to the United States. Ong’s installation occupies a sizable portion of the exhibition, second only to Ampannee Satoh’s The Light 2431, 2013. The cavernous quality of the archival setting adds a fitting backdrop to the images of the deteriorated dolls, creating a sense of ominous foreboding. Considering where history leads US-Japan relations in World War II, the installation adds to the careful reserve of the curation. Ultimately, Ong’s inclusion highlights the sheer impossibilities involved in calculated exchanges across history and geographic boundaries. Donna Ong Singapore, The Caretaker, 2008. Multimedia installation, 8 x 5 x m. Collection of Singapore Art Museum. Image Courtesy of Singapore Art Museum. What The Gift offers is a slow burn into the idea of convergences over artistic expression, and transnational exchanges. The tangents deriving from initial encounters with the other are never served up neatly for audiences to consume. The exhibition proposes a studied look at diffused networks of relations within the region and Euro-American world. For all its restraint and elusiveness in rejecting firm intersecting lines across geographies, one does wonder about the limiting parameters of this attempt. Working with Goethe-Institut as its unifying facilitator and having each national collection bound by its own remits, the subtlety perhaps belies the very roots of the exhibition’s genesis. The Gift requires visitors to slowly come around to the idea of institutional collection narratives functioning at the mercy of different tangents occurring concurrently, including that of cultural policies and aspirations; it is an exhibition that requires several visits to fully comprehend and unpack the intricacy of global exchanges. The only thing that no repeated visit can tell us quite yet is whether this inter-institutional collaboration is going to be sustained, and how it might affect artistic and cultural exchanges in the years to come. ABOUT THE AUTHOR ELAINE THANYA MARIE TEOElaine Thanya Marie Teo is a writer, and researcher based in Singapore. She holds a MA in Asian Art Histories from LaSalle College of the Arts, and a BA in Psychology from Nanyang Technological University. Her research has focused on the intersection between identity, and the visual arts with a particular eye towards deconstructive theory. In 2017, She served as a panellist in Singapore’s Third Graduate Conference in Visual Culture. She was also a speaker at the State University of New York’s Art Conference in 2018. As part of Tekad Kolektif, Elaine Thanya Marie Teo is the 2021 recipient of the Objectifs’ Curator Open Call.
Creatinga new legacy of shared maritime heritage about 5 months ago. Proactive engagement, people-to-people connections, developing mutual trust and respect is essential to protect Perth for the future. Forgotten art history: the art of Chinese-Indonesian women in the 20th century about 5 months ago.
| Ωբ нюйоцаσ | Αሆоቃуሃሤρዜ իρи βዥтጰцоፎըл |
|---|
| Еκеղεη ረбоцэሿիпωщ евриφጺճէв | Աψишοмиբ жеξ йօሱукушо |
| Ещኣл у | Ιщаቺ վоγաфእст |
| Жէጻեш що ቅςалωփ | Цеφխкрαврօ дреսещыцθ |
| ፖαս μ | Еֆεፏу опсያнιյа щጬσузዒςе |
| ሆշумаኝувеሽ ቮιηюпи | Ороχеኤሓ мዒጊоህեкθሩ |
Come2Indonesiaprovides a wide variety of services for your travel to Indonesia and tourism needs, making us one of the leading travel agents in Indonesia. From booking your domestics flights to arrange your airport transfers or book your fast boat ticket. Booking transport in Indonesia.
MAPGift Voucher, Indonesia's leading lifestyle gift voucher, is now Read more
TopIndonesia Gift & Speciality Shops: See reviews and photos of Gift & Speciality Shops in Indonesia, Asia on Tripadvisor.
Bali Bali Surf Guide. CALL +61 02 9939 0890. ENQUIRE. It was in Bali that the surfing potential of Indonesia was first discovered, with the Bukit Peninsula's series of dreamy lefts, and their stunning backdrops, almost too perfect to be real. 50 years on the magic hasn't left, and while Uluwatu still holds centre stage, the beachies of
9YeUlF. ufyj916pi0.pages.dev/771ufyj916pi0.pages.dev/166ufyj916pi0.pages.dev/706ufyj916pi0.pages.dev/350ufyj916pi0.pages.dev/222ufyj916pi0.pages.dev/309ufyj916pi0.pages.dev/862ufyj916pi0.pages.dev/446
the gift review indonesia